Dear Neptunus, aku mencintainya, didepannya aku mampu menjadi diriku sendiri, seperti airmu yang selalu membawa pesanku. Diapun begitu, membuatku hanyut oleh sorot matanya. Membuatku lupa oleh kesedihan rasanya, sampai aku tak bisa berkata apa-apa padanya, bahkan untuk sekedar bilang rindu atau butuh.

Rabu, 05 Desember 2012

Kerusakan Bumi dan Fenomena Bencana Alam


Kondisi alam di bumi ini semakin memprihatinkan. Di saat memperingati Hari Bumi yang jatuh setiap 22 April ini pun, berbagai pihak menghimbau dan mengadakan aksi untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan lebih lanjut. Dimana telah mengakibatkan berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan (krisis air), tsunami dan sebagainya.
Menurut laporan Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) (12/12/2007), sebagian besar bencana alam yang terjadi di dunia sepanjang 2007 merupakan dampak dari pemanasan global. Setiap tahun, jumlah bencana alam naik hampir 20 persen dari tahun sebelumnya. Hingga 10 Oktober 2007, Federasi telah mencatat ada 410 bencana dan 56 persen dari jumlah itu disebabkan oleh perubahan cuaca atau iklim.
Pada 2006, IFRC mencatat 427 bencana alam. Angka tersebut meningkat sebesar 70 persen dalam dua tahun sejak 2004. Selama 10 tahun terakhir, jumlah bencana alam meningkat 40 persen dari dekade sebelumnya. Sedangkan angka kematian yang disebabkan oleh bencana alam meningkat dua kali lipat menjadi 1,2 juta orang dari 600.000 pada dekade sebelumnya. Jumlah korban bencana alam juga meningkat setiap tahun. Tahun 2007, 270 juta orang menjadi korban bencana alam sedangkan tahun sebelumnya 230 orang (Suara Pembaruan, 2007).
Di Indonesia sendiri telah berulang kali terjadi bencana banjir, longsor, banjir pasang naik, gempa, tsunami, bahkan beberapa saat lalu telah terjadi musibah jebolnya tanggul Situ Gintung di Tangerang, Banten akibat tidak kuat menahan tekanan air hujan yang tertampung.
Menurut laporan Walhi, antara tahun 2006-2008, di Indonesiasedikitnya telah terjadi 840 peristiwa bencana alam. Sedang periode sebelumnya, antara 1998 hingga 2003 tercatat sebanyak 647 bencana. Data bencana dari Bakornas Penanggulangan Bencana antara tahun 2003-2005 tercatat terjadi 1.429 bencana. Artinya, antara 1998 hingga 2008 terdapat indikasi peningkatan peristiwa bencana.
Di Sumatera Selatan (Sumsel) saja, sepanjang tahun 2008 telah terjadi 30 kali bencana alam, antara lain bencana banjir, angin puting beliung, tanah longsor, serta kebakaran rumah warga maupun lahan. Bencana alam banjir sebanyak tiga kali terjadi antara lain di Kabupaten Musi Rawas, Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Ogan Ilir. Sedangkan tahun 2009 hingga saat ini telah terjadi bencana alam sebanyak enam kali, antara lain banjir di Kabupaten Ogan Ilir termasuk di wilayah Kota Palembang (Regional Roll, 2009).

Tak ayal penyerapan dana bencana alam pun meningkat. Di awal 2009 sekarang saja, dana bencana alam di Departemen Sosial tahun 2009 sudah terserap sebanyak Rp 300 milliar dari Rp 400 miliar yang dianggarkan. Artinya yang tersisa pada Februari 2009 hanya Rp 100 milliar.
Berbagai bencana alam sebagai fenomena pemanasan global tersebut menurut peneliti yang juga dosen senior dari Fakultas Kehutanan UGM Ir San Afri Awang M.Sc (2008) merupakan dampak dari degradasi hutan. Bahkan dikawatirkan jika degradasi dan deforestasi hutan terus berlanjut sekiranya 20% pulau di wilayah Indonesia akan tenggelam seiring dengan naiknya suhu dan cuaca sekitar dua derajat celcius akibat pemanasan global.
Demikian juga krisis air yang telah terjadi saat ini akan semakin parah. Menurut Hidayat Pawitan, Profesor Hidrologi Sumber Daya Air dari Institut Pertanian Bogor (IPB) (Kapanlagi.com, 2009), ketersediaan air permukaan di Pulau Jawa dan Bali sudah berada pada titik kritis, dengan perbandingan tingkat penggunaan dan ketersediaan air lebih dari 50%.

Berdasarkan neraca penggunaan air nasional sudah lebih dari 50 persen indeksnya, ini sudah kritis. Indeks ketersediaan air yang aman kurang dari 30%. Saat ini ketersediaan air di Jawa dan Bali sekitar 126.451 juta meter kubik dengan total kebutuhan air 65.840 juta meter kubik, dimana 80% di antaranya digunakan untuk keperluan irigasi.
Hal itu terjadi karena Pulau Jawa dan Bali telah mengalami perubahan signifikan dalam aspek sosio-ekonomi, lingkungan, klimatologi serta hidrologi yang secara langsung mempengaruhi ketersediaan air permukaan. Kebutuhan air di kawasan itu semakin meningkat, seiring pertumbuhan populasi dan peningkatan polusi, sementara kemampuan lahan untuk menahan dan menyimpan air makin rendah, akibat deforestasi dan kerusakan lahan.
Deforestasi dan kerusakan lahan telah meningkatkan koefisien limpasan (perbandingan antara volume limpasan dan volume curah hujan), dan menurunkan kemampuan tanah menahan air hujan.
Koefisien limpasan pada kawasan yang hutan alamnya masih bagus di bawah 0,1%, kalau sebagian hutan sudah dikonversi menjadi sawah koefisien limpasan biasanya bertambah menjadi 30%, dan kalau dikonversi menjadi ruko bisa mencapai 90%, sedikit sekali air yang tertahan.
Konservasi
Untuk menekan dampak deforestasi, menurut  Hidayat Pawitan, pemerintah mesti mengembangkan upaya pelestarian sumberdaya air secara berkelanjutan melalui kegiatan konservasi. Yaitu dimulai dengan konservasi tanah serta rehabilitasi lahan dan hutan, dengan model yang dibuat berdasarkan kondisi awal dari kawasan tersebut.
Tentunya penting juga penegakan hukum terhadap pelaku penebangan ilegal ((illegal logging) untuk mencegah perusakan hutan lebih lanjut. Maraknya penebangan ilegal  telah memperparah degradasi dan deforestasi hutan yang sekarang sudah mencapai 59 juta ha dengan laju degradasi tahun2000-2007 seluas 1,18 juta ha/tahun.
Sejak tahun 1999, menurut San Afri Awang, perambahan hutan ilegal itu marak terjadi sebagai akibat belum diterapkannya tata kelola hutan yang baik dan sesuai menurut kaidah ilmu pengetahuan kehutanan. Kaidah utama tersebut adalah tindakan penataan kawasan hutan menjadi unit-unit manajemen terkontrol. Namun selama ini lebih dari 30 tahun, unit manajemen hutan tropis di luar Jawa tidak diterapkan.
Perusahaan swasta yang mendapat ijin pemerintah hanya menjalankan rencana eksploitasi dan menyerahkan regenerasi tanaman pada alam, perusahaan tidak membangun unit manajemen hutan lestari. Perusahaan swasta ini sebagian besar tidak peduli dengan kelestarian hutan, sementara pengawasan atas eksploitasi hutan dari pemerintah sangat lemah dan tidak sistematis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar